image di unduh dari skateboardeurope.com




Berseluncur dan Melawan!
Tinggi hormat kepada sejawat yg membesarkan Skateboard di kota Bandung, dimanapun pelosok Nusantara. Lewat keringat dan darah, kemarin, hari ini dan selamanya.


“It’s a strange phenomenon how this piece of wood, wheels and a turning system has made so many people so happy.” Chris Cole.


Siapa yg dapat mengira bahwa frustrasi sosial kala jelaga perang semak belukar tropis berkecamuk menuai korban baik pada kubu barat atau timur kala itu di Vietnam. Sengketa ideologi yg berjudul perang dingin (walau kenyataannya panas) ini menumbuhkan rasa berontak, terlebih pada keadaan dan tatanan sosial kelas bawah yg dana sosialnya kian terhimpit akibat tergerus dana perang dan akomodasi prajurit beserta sekutunya.

Kisah paradoks itu terpancar lewat raut muram para peselancar “Cali” yg tak kunjung mendapati ombak demi hasrat berselancarnya. Seharian mereka lelah dan gosong dikuliti terik matahari di akhir 60-an yg tentunya menimbulkan kekecewaan dan akumulasi frustrasi mengingat keadaan sosial-politik ketika hippies hingga LSD terjun ke lapangan memprotes rasa kedamaian yg kembali terusik sejak invasi US dan sekutu dalam membela ke-demokratis-annya.

Dunia terbagi dua, barat dan timur, demokrasi dan komunis, sampai pula si sosialis (RRC). Namun, apa yg terjadi ketika ombak tak kunjung datang di pesisir pantai barat Amerika sana? Selain menyimak keriuhan News Channel atau BBC yg memberitakan keberhasilan sekutu?

Ombak surut, matahari terlalu terik, pantai sepi.

Pemuda pantai itu tiba-tiba berubah orientasi, ia tak lagi memuja ombak dan gemuruh laut, ia kini sedikit “gila” dengan mendorong-dorong sebuah kursi kantoran yg diduduki seorang temannya. Berhari-hari, lantas medium itu berubah perlahan menjadi seonggok peti kayu yg asal ngait (seenak udelnya) ditempelkan roda, lantas menggelindinglah ia bersama sang korban yg duduk diatasnya. Mungkin karena menemukan makna yg sufistik, entah itu apa, yg jelas medium seluncur yg asalnya papan selancar ombak itu kemudian berubah. Saudara sepatu beroda bertambah satu yakni “Sidewalk Surfing”.

Sidewalk Surfing bagai demam otopet kala itu yg mewabah di era 1960, setelah timbul tenggelam, ia lantas menjelma di film “Back To The Future” dimana pemeran utamanya, Marty McFly menggunakan papan ber-roda itu sebagai alat transportasi pada filmnya. Cukup aneh, namun nyata bahwa ia seperti terlahirkan kembali pada jiwa segenap muda-mudi Amerika. Maka, sang Messiah pun mampir di tahun 80-an pada diri seorang Alan “Ollie” Gelfand yg karenanya lahirlah lompatan substansial dan begitu fenomenal pada olahraga ini, Ollie.

Skateboard lahir. Persis pada dasawarsa mana kata itu disematkan kurang ada penjelasan faktual dari google sang mentor. Namun esensi tak dapat dirubah, rasa membangkang yg tumbuh pada segenap diri anak-anak muda yg kerap kali tak terarahkan ujungnya, membawa dimensi baru pada dunia Skateboard, yg pada masanya menuai berbagai kontroversi dan kontinyu hingga sekarang. Resistensi sosial tak dapat kita eliminasi dari faktor penting munculnya generasi penerus dunia papan luncur ini. Peran sentral seorang Rodney Mullen, Steve Caballero, dan Tony Hawk tak bisa kita remehkan sama sekali, juga para pelopor Street Skateboarding yg mendobrak tatanan kemapanan sosial dengan diikuti pesatnya industri yg mendukung atau sekedar menunggangi Skateboard.

Ia alternatif sekaligus simbol kerasnya kehidupan di jalanan, ia penuh dengan semangat pembangkangan dan kerja keras sebagai sebuah effort mencapai tujuan, ia pun begitu dekat dengan konsumersime dan moda kapitalistik hari ini.


Antara Passion dan Fashion

Berdasar penilaian bebas (bisa ya, bisa tidak), Skateboard identik sebagai mainan remaja kota kelas menengah ke atas yg mencari arti di tiap hempasan kaki demi mendorong laju papan luncur agar tak berhenti yg akhirnya menghasilkan kebosanan. Lantas, jika menemukan kejenuhan, tak ayal papan luncur itu pun kerap ditinggalkan begitu saja atau dijual kepada kerabat yg sedang berhasrat menjadi seperti Bam Margera. Tak ada yg salah, dunia ini berputar, begitu pun ke-empat roda yg menopang papan luncur tsb.

Bagaimana dengan sebuah kata yg kadang membuat hari dimana bermain skateboard di tempat lalu-lalang publik menjadi hari yg necis dan mahal? Kita tak dapat membatasi persepsi umum, namun fakta berbicara demikian. Skateboard di Indonesia jelas agak berbeda dengan Negara asal ia lahir, namun perbedaan ini bukan terdapat pada esensi skateboard, melainkan lewat kultur beserta tatanan sosial yg begitu besar diferensialnya pada Negara asal dan Negara kita. Mereka jauh lebih mapan mengingat umur merdeka yg terpaut ratusan tahun, juga umur skateboard itu sendiri.

Sebagai bangsa yg mengidap “ke-timur-an”, kaca mata umum yg sangat lumrah ini tak bisa lepas dari Negara Adi Daya penguasa media dunia. Dari sumber itulah skateboard tak bisa lekang dengan cap kebarat-baratan, atau berbagai konotasi negatif lain yg membuat kickflip setara tarian alay pada hiburan miskin pesan seperti Outbox atau Jeleger! yg kini memenuhi saluran swasta di kala lengang.

Semenjak Skateboard menjadi demam yg merasuk pemuda-pemudi US, pasar pun melihat hal ini sebagai sesuatu yg potensial. Brand-brand kelas wahid melabelkan dirinya dan mengafiliasikan merk dagangnya ke dunia papan luncur. Maka, perhatian media pun teralihkan sejenak pada fashion yg oleh sang atlit atau pemain skateboard atau, skater kenakan, bukan malah tertuju pada ability dan esensi olahraga skateboard, terlebih semangat rebellion-nya. Hal ini tentu berdampak bagi dunia skateboard, yaitu hanya dilihat sebagai trend fashion semata.

Kita di Indonesia, dalam hal ini telah menjadi dunia ketiga yg cenderung mengekor atau terlanjur melihat kesuksesan dan mapannya sang skater. Dengan kata lain, setelah Amerika menguasai media maka implikasinya, kita mau tidak mau berkacamatakan kultur barat tanpa didasari pemahaman dan fondasi berfikir yg kuat terhadap lingkup sosial bermasyarakat. Sepertinya dalam kasus ini semua serupa, yakni kiblat fashion yg jatuh pada US, kedua UK, atau lebih memilih yg ketiga, Jepang.

Strata sosial kita mempunyai jurang pemisah besar, tak seperti di Amerika yg dapat meminimalisir harga satu set papan luncur dengan kualitas yg cukup bagi si pemula hingga kelas amatir. Dengan didukung oleh tata kota yg rapih dan terawat, ia terakomodasi dengan sendirinya, skatepark, skateshop, dan sarana penunjang yg mudah diakses oleh seorang anak petani penggarap gandum hingga anak para senator di gedunng putih dan menjadikan skateboard sebagai olahraga yg digemari berbagai kalangan.

Namun syukurlah, Skateboarding masih diberikan mukjizat. Merk-merk dagang baru bermunculan yg khusus mendedikasikan produknya demi kelanggengan dunia papan seluncur ini. Banyak pula brand-brand yg masih survive dari gempuran kapitalistik dan materialisme dan sampai hari ini mereka patut di beri “like this”. Tak pula melupakan pabrikan-pabrikan papan, roda, dan trucks yg seratus persen menikah dengan semangat dan asas-asas Skateboarding.

Semangat-semangat itu hadir lewat format VCR (Powell Peralta, “Bones Brigade Video Show” 1984) hingga format masa kini pada DVD atau sekedar siaran komersial 30 detik di televisi. Bahkan saluran tv swasta di Amerika menyediakan program khusus bagi olahraga extreme semacam skateboard, hingga biografi lengkap seorang professional skateboarder dari nol hingga pro, (Fuel TV, “First Hand”). Juga, semangat itu pun terpotret dan terpatri bersih, karena seperti apa yg Steve Berra katakan, “Behind every great skateboarder there is a great photographer”.

Hal serupa terjadi di Negara kita, kita patut sungkem kepada mereka yg melahirkan Skateboard di Indonesia pada era akhir 80-an menuju 90-an. Serta local heroes, berbagai brand lokal yg berdedikasi memajukan dan mendukung dunia papan luncur tak bisa kita reduksi kontribusinya dalam melahirkan aplikasi nyata yg mengakomodir dan menampung bakat kreativitas para skater/atlit. Berbagai macam kampanye digalakkan, seiring perkembangan dunia skateboard yg akhirnya melahirkan semangat kebersamaan pada komunitas yg begitu antusias terhadap kemajuan olahraga tsb.


Papan Luncur dan Tata Kota

Adalah ironi ketika kita berbicara passion sebuah skateboarding culture versus desain tata kota di Indonesia yg amburadul dengan bergelontor fakta bahwa kota-kota besar kita minim akan sebuah trotoar atau tempat pejalan kaki yg representatif. Mengingat skateboard yg terlahir di pinggiran jalan (Sidewalk Surfing), maka sempat terbesit rasa putus asa, atau enggan sama sekali menengok sebuah alternatif sarana olah tubuh. Kita hanya akan dipusingkan dengan sulitnya mencari lahan bermain, harus bersembunyi-sembunyi pula dari kejaran security, dan ya itulah faktanya.

Namun, apa yg dalam benakmu ketika melihat sebuah bidang datar beralaskan semen nan mulus? Mungkin untuk sebagian orang, tempat tersebut tak begitu menarik perhatian. Lantas, apa yg akan terlintas dalam pikiran jika kita menemukan lima atau enam nuah anak tangga? Atau di dalam perjalanan kita menemukan seonggok bangku atau sebuah tembok panjang yg tingginya tak melebihi paha kita? Ya! Disitulah letak Art of Skateboarding-nya! Karena sejatinya, seseorang dengan papan akan selalu melihat hal-hal tersebut dengan sudut pandang yg berbeda dengan umumnya.

Objek-objek tersebut adalah sarana eksplorasi dan penyaluran daya kreatif yg sekaligus pengukur kemampuan seorang skater terhadap kelihaiannya mengendarai papan luncur di segala bidang. Cara pandang skateboarder dalam menterjemahkan lingkungan sekitar seperti inilah modal awal agar olahraga extreme sperti skateboard dapat berumur panjang dan berkembang, karena lewat keterbatasan, tak melulu terlahir sebuah ketiadaan.

Maka dari itu, idealisme skateboarding, terutama di negara berkembang macam Indonesia adalah hakiki menuntut sebuah tempat bermain yg dapat mewadahi kreativitas jasmani positif dari olahraga skateboard itu sendiri. Idealisme tsb haruslah tetap terjaga sebagai upaya kontrol terhadap kinerja sebuah kota dan pemerintahannya terhadap desain menata kota yg dalam hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah kota.

Lambat laun, skateboard beradaptasi, ia melebur dengan tatanan kota yg semerawut, dan acuh tak acuh nya pemerintah kota dalam mengurusi penerus bangsa yg positif. Namun, bukan saat untuk kita mematahkan papan. Skateboard harus menjadi pendobrak standar kemapanan sosial beserta hegemoninya. Karena ia telah ber-evolusi menjadi sebuah budaya yg mencakup kesehatan jasmani, seni, dan industri. The Art of Skateboarding akan semakin terasa ketika kita berjuang, street campaign seperti tempo hari di Bandung, atau propaganda by the deeds-nya We Built This City.

Hari ini, ia harus keluar dari stigma “olahraga remaja kaum menengah keatas”, ia harus menjadi milik segenap anak bangsa, karena Skateboarding is FUN, and FUN is for Everyone!


By FIst At Young Lad

Copyright © P-I-S Underconstruction Template Design by RzaaL 1306